Pandam Pekuburan di Perak Surau Ampang


Surau Ampang yang merupakan Masjid Jami' Sidang Tangah[1] semenjak kepengurusan yang baru mengalami renovasi pada bentuk disain arsitektur bagian luar. Dibuat lebih megah dan menyesuaikan dengan perkembangan yang terjadi pada masa belakangan. Nuansa timur tengah lebih terasa terutama ketika melihat bagian fasad.

Tampaknya karena pengaruh tuntutan zaman pula dimana kendaraan sudah semakin banyak dan ramai. Disatu sisi dibutuhkan lapangan parkir yang luas untuk jama'ah terutama sekali ketika pelaksanaan Shalat Jum'at, Hari Raya, atau hari besar Islam lainnya dimana jumlah jama'ah meningkat tajam. Disisi lain lapangan parkir sekarang - yang dahulu merupakan tabek yang ditimbun - tidak lagi mencukupi menampung kendaraan, maka tampak pada masa sekarang (2022) pengurus baru telah mendatarkan perak yang terletak di sebelah kiri (selatan) surau untuk dijadikan tempat parkir.

Tentunya hal ini merupakan sesuatu yang menggembirakan, para jama'ah tiada lagi perlu berdesakan apabila hendak memarkir kendaraannya. Dan juga, masjid kita juga terlihat lebih megah, gagah, dan mantap. Banyak masjid bagus nan rancak namun tak memiliki halaman apalagi tempat parkir, ibaratkan orang berbaju tapi tak bercelana. Sungguh bagus sekali buah pemikiran dari tuan-tuan pengurus kita yang baru ini.

Namun kemudian muncul dakwaan (klik DISINI) dari beberapa orang yang merupakan ahli waris dari orang tua kita yang dimakamkan di perak milik surau itu.[2] Sudah lama memang karena berpuluh tahun lamanya tidak ada lagi orang yang dimakamkan di halaman surau. Sedangkan surau Ampang sendiri memiliki tanah pekuburan di jalan arah ke Jawi Jawi, disanalah kalau ada kaum muslimin yang hendak dimakamkan keluarga di tanah surau, dimakamkan.

Sungguh suatu peristiwa mengejutkan menjelang hari raya tahun ini, mungkin banyak diantara kita pada masa sekarang yang tiada mengetahui mengenai perkara tersebut. Namun para orang tua kita tiada lupa, mereka masih ingat. Adakah para pengurus bermufakat dengan masyarakat se Sidang Tangah sebelum mendatangkan ekskavator untuk mendatarkan perak di samping masjid tersebut?

Sudah menjadi adat di negeri kita (Minangkabau serta Alam Melayu), raja yang sebenar raja itu ialah kata mufakat. Seperti kata mamangan "Kamanakan beraja ke mamak, mamak beraja ke penghulu, penghulu beraja ke kata mufakat, kata mufakat beraja ke Yang Benar, Yang Benar berdiri sendirinya" apa itu Yang Benar (Nan Bana), yakni Allah S.W.T yang termaktub dalam Kitab Sucinya (Hukum Syari'at).

Pengajaran orang tua-tua dahulu dalam hal apapun kita mesti bermufakat, jangan mengambil keputusan sendiri atau mamanggak-an cadiak surang. Kalau cerdik kami takkan bertanya, bagak kami takkan mencari lawan, kaya kami takkan meminta. Demikianlah betapa halus budi bahasa orang dahulu seperti yang tercantum dalam falsafah nagari kita "Nan Kuriak iolah Kundi, Nan Sirah iolah Sago. Nan Baiak Iolah Budi, Nan Indah Iolah Baso".

Beragama bukan berarti kita tak beradat, justeru adat itulah ketinggian dari agama. Namun kebanyakan orang sekarang yang tabik atau insyaf (Hijrah, bahasa sekarang) mencemooh dan menafikan adat itu, Bid'ah kata mereka. Jadilah mereka beragama macam orang kampung datang ke kota, tidak serasi antara pakaian dengan badan dan dengan lingkungan. Janggal dipandang mata, aneh dilihat, tak serasi ianya.

Semoga orang kampung kita memiliki pemecahan atas permasalahan ini, Insya Allah

=============

Catatan Kaki:

1) Tentang Surau Ampang, klik DISINI

2) Untuk sementara berhasil diketaui 11 (sebelas) orang orang tua kita yang dimakamkan disana. Selengkapnya silahkan klik DISINI

Komentar

Postingan Populer