Tukang Intai
[caption id="attachment_583" align="alignleft" width="300"] ayam jantan sadang maintai ayam batino di Jorong Dalam Koto.
Maaf tuan kalau gambar kurang sasuai..[/caption]
Pernahkah engku dan encik mendengar istilah “Tukang Intai”?
Mungkin angkatan engku dan encik sekarang sudah jarang atau bahkan tak pernah mendengar istilah serupa itu lagi. Karena istilah ini kami dapati dari salah seorang antan (inyiak, nyiak aki, datuak) kami. Ketika itu kami bercakap-cakap dengan beliau seputar kehidupan masa dahulu. Kehidupan zaman saisuak dimana masyarakat kita masih bersih dari pengaruh adat kebiasaan (budaya-budaya) yang datang dari luar. Maksud kami “dari luar” tidak hanya adat istiadat orang Barat akan tetapi juga adat istiadat dari orang Indonesia sendiri yang berbeda adatnya dari kita orang Melayu di Minangkabau ini.
Pada masa dahulu, dimana telfon dan hape belumlah ada. Dimasa onda dan oto belum pula merajah negeri. Dimasa dimana rasa malu masih dipertahankan oleh orang kampung. Dimasa adat dan syari’at masih menjadi panduan dari orang Kamang dalam menjalani kehidupan ini. Dimasa marwah[1] diri dan keluarga masih sangat besar dan menjadi pakaian kebesaran orang dalam nagari. Dimasa mamak masihlah menjadi raja di rumah kamanakan, dan bapak menjadi imam yang baik dalam keluarga. Dimasa dahulu engku dan encik sekalian, dimasa adat dan syara’ masih dipakai oleh orang Kamang.
Pada masa itu di kampung kita, orang di kampung sangatlah sedikit. Pergaulan muda-mudi, lelaki dan perempuan masih terpelihara oleh pakaian adat dan syari’at. Apabila bersua atau berpapasan seorang bujang dan seorang gadih (gadis) di jalan maka kedua-duanya akan menunduk malu. Segan dan takut apabila sampai ketahuan oleh sanak keluarga dan orang kampung. Malu apabila sampai memberikan tatapan penuh syahwat menggoda iman bahkan sampai memberikan senyuman memikat hati. Malu engku dan encik sekalian, malu.. itulah ia yang tak ada pada masa sekarang di orang Kamang ini.
Pada masa itu, tidak dikenal dengan apa yang disebut oleh orang sekarang dengan bacewek (pacaran). Belum ada perempuan dan lelaki yang tidak memiliki hubungan keluarga berani bercakap-cakap sekedar bertukar kabar. Apalagi sampai ada lelaki yang datang bertandang masuk ke rumah seorang perempuan, walaupun dengan alasan dia berkawan baik dengan saudara lelaki dari perempuan tersebut. Belumlah ada engku dan encik sekalian.
Tidak seperti zaman sekarang dimana sebagian orang tua yang tak bermalu di kampung kita merasa bangga apabila ada seorang lelaki bertandang ke rumah untuk menemui anak gadisnya. Diterima dengan baik, dengan air muka senang nan bahagia, pertanda anak gadis kita cantik molek disukai banyak lelaki. Mulai dari sekedar becakap-cakap di halaman rumah, di beranda atau teras rumah, bahkan ada yang sampai dibawa masuk ke dalam rumah. Berdo’a sajalah engku dan encik sekalian bahwa jangan sampai dibawa masuk ke dalam bilik (kamar).
Pada masa dahulu engku dan encik sekalian, cara seorang lelaki dalam mengejar ataupun memikat pujaan hati ialah dengan cara “mengintai..”.
Tentulah engku dan encik akan bertanya pula “seperti apa itu tuanku..?”
Caranya ialah dengan lalu-lalang di hadapan rumah si perempuan. Hal ini akan semakin kentara apabila si lelaki semakin sering berlalu-lalang di hadapan rumah si perempuan tersebut. Apabila hal tersebut telah terjadi maka teranglah bagi perempuan di dalam rumah kalau dirinya tengah ditaksir oleh seorang lelaki.
Bagi fihak keluarga yang merasa kurang nyaman dengan tingkah tersebut, tidak pula berkenan dengan diri si lelaki, maka oleh mamak, kamanakan perempuannya tersebut akan dimarahi. Bahkan ada yang sampai dilecuti oleh si mamak “Perempuan sundal, membuat malu keluarga..” begitulah kira-kira.
Engku dan encik sekalian tentulah bertanya-tanya “Kenapa pula tuanku, kan tidak ada kontak fisik dan tidak pula bertukar sapa. Mungkin sekedar bertukar senyum manis memikat jiwa yang bergelora karena darah muda. Wajarkan tuanku..?”
Benar engku dan encik sekalian, jika kita pandangi dari sudut pandang (perspektif) masa sekarang. Namun dari sudut pandang orang zaman dahulu yang masih kuat adat dan agamanya? Tentulah berbeda. Engku dan encik sekalian janganlah memandang masa lalu itu dari perspektif masa sekarang. Sebab keadaan pola fikir, nilai-nilai yang digunakan, dan kearifan orang-orang dahulu berbeda dengan kita. Orang dahulu lebih arif, lebih bijak, lebih beradat, dan lebih beragama dari kita yang hidup pada masa sekarang. Banyak perkara yang terpantang dilakukan oleh orang zaman dahulu menjadi biasa dilakukan oleh kita pada masa sekarang. Yang tua akhirnya mengurut dada sambil mengucap dalam hati.
Perkara “maintai..” merupakan perkara yang sumbang dalam pandangan masyarakat nagari kita dahulunya. Jika sudah bersua dengan pujaan hati maka mengadulah ke mamak minta dikawinkan. Tak usah pergi mengintai anak gadis orang, kurang ajar itu namanya engku.
Pernah pula dulu ada seorang penghulu, seorang datuk. Yang diintainya bukanlah anak gadis orang melaikan isteri orang. Cobalah engku bayangkan betapa kurang ajarnya datuk yang satu ini. Tahulah orang kampung, namun tak berdaya karena dia datuk. Tak sembarang orang boleh menegur datuk, bacaro (pakai cara) kalau hendak menegur datuk itu. Haruslah keluarganya sendiri, semisal mandehnya, kalau mamak masih ada, tentulah mamak dari si datuk, kalau neneknya masih ada, maka neneklah yang menegur, atau kakaknya, dan sanak kerabat yang lainnya.
Karena tak dapat cara dalam mengatasi perkara sumbang tersebut. Maka akhirnya Angku Palo turun tangan, maka disuruhnyalah salah seorang dubalangnya untuk menangani datuk kalera ini. Dan selepas itu si datukpun berhenti melakukan perbuatan merusaknya tersebut.
Begitulah engku dan encik sekalian, mudah-mudahan memberikan kearifan kepada kita semua. Terutama kita orang Kamang..
Maaf tuan kalau gambar kurang sasuai..[/caption]
Pernahkah engku dan encik mendengar istilah “Tukang Intai”?
Mungkin angkatan engku dan encik sekarang sudah jarang atau bahkan tak pernah mendengar istilah serupa itu lagi. Karena istilah ini kami dapati dari salah seorang antan (inyiak, nyiak aki, datuak) kami. Ketika itu kami bercakap-cakap dengan beliau seputar kehidupan masa dahulu. Kehidupan zaman saisuak dimana masyarakat kita masih bersih dari pengaruh adat kebiasaan (budaya-budaya) yang datang dari luar. Maksud kami “dari luar” tidak hanya adat istiadat orang Barat akan tetapi juga adat istiadat dari orang Indonesia sendiri yang berbeda adatnya dari kita orang Melayu di Minangkabau ini.
Pada masa dahulu, dimana telfon dan hape belumlah ada. Dimasa onda dan oto belum pula merajah negeri. Dimasa dimana rasa malu masih dipertahankan oleh orang kampung. Dimasa adat dan syari’at masih menjadi panduan dari orang Kamang dalam menjalani kehidupan ini. Dimasa marwah[1] diri dan keluarga masih sangat besar dan menjadi pakaian kebesaran orang dalam nagari. Dimasa mamak masihlah menjadi raja di rumah kamanakan, dan bapak menjadi imam yang baik dalam keluarga. Dimasa dahulu engku dan encik sekalian, dimasa adat dan syara’ masih dipakai oleh orang Kamang.
Pada masa itu di kampung kita, orang di kampung sangatlah sedikit. Pergaulan muda-mudi, lelaki dan perempuan masih terpelihara oleh pakaian adat dan syari’at. Apabila bersua atau berpapasan seorang bujang dan seorang gadih (gadis) di jalan maka kedua-duanya akan menunduk malu. Segan dan takut apabila sampai ketahuan oleh sanak keluarga dan orang kampung. Malu apabila sampai memberikan tatapan penuh syahwat menggoda iman bahkan sampai memberikan senyuman memikat hati. Malu engku dan encik sekalian, malu.. itulah ia yang tak ada pada masa sekarang di orang Kamang ini.
Pada masa itu, tidak dikenal dengan apa yang disebut oleh orang sekarang dengan bacewek (pacaran). Belum ada perempuan dan lelaki yang tidak memiliki hubungan keluarga berani bercakap-cakap sekedar bertukar kabar. Apalagi sampai ada lelaki yang datang bertandang masuk ke rumah seorang perempuan, walaupun dengan alasan dia berkawan baik dengan saudara lelaki dari perempuan tersebut. Belumlah ada engku dan encik sekalian.
Tidak seperti zaman sekarang dimana sebagian orang tua yang tak bermalu di kampung kita merasa bangga apabila ada seorang lelaki bertandang ke rumah untuk menemui anak gadisnya. Diterima dengan baik, dengan air muka senang nan bahagia, pertanda anak gadis kita cantik molek disukai banyak lelaki. Mulai dari sekedar becakap-cakap di halaman rumah, di beranda atau teras rumah, bahkan ada yang sampai dibawa masuk ke dalam rumah. Berdo’a sajalah engku dan encik sekalian bahwa jangan sampai dibawa masuk ke dalam bilik (kamar).
Pada masa dahulu engku dan encik sekalian, cara seorang lelaki dalam mengejar ataupun memikat pujaan hati ialah dengan cara “mengintai..”.
Tentulah engku dan encik akan bertanya pula “seperti apa itu tuanku..?”
Caranya ialah dengan lalu-lalang di hadapan rumah si perempuan. Hal ini akan semakin kentara apabila si lelaki semakin sering berlalu-lalang di hadapan rumah si perempuan tersebut. Apabila hal tersebut telah terjadi maka teranglah bagi perempuan di dalam rumah kalau dirinya tengah ditaksir oleh seorang lelaki.
Bagi fihak keluarga yang merasa kurang nyaman dengan tingkah tersebut, tidak pula berkenan dengan diri si lelaki, maka oleh mamak, kamanakan perempuannya tersebut akan dimarahi. Bahkan ada yang sampai dilecuti oleh si mamak “Perempuan sundal, membuat malu keluarga..” begitulah kira-kira.
Engku dan encik sekalian tentulah bertanya-tanya “Kenapa pula tuanku, kan tidak ada kontak fisik dan tidak pula bertukar sapa. Mungkin sekedar bertukar senyum manis memikat jiwa yang bergelora karena darah muda. Wajarkan tuanku..?”
Benar engku dan encik sekalian, jika kita pandangi dari sudut pandang (perspektif) masa sekarang. Namun dari sudut pandang orang zaman dahulu yang masih kuat adat dan agamanya? Tentulah berbeda. Engku dan encik sekalian janganlah memandang masa lalu itu dari perspektif masa sekarang. Sebab keadaan pola fikir, nilai-nilai yang digunakan, dan kearifan orang-orang dahulu berbeda dengan kita. Orang dahulu lebih arif, lebih bijak, lebih beradat, dan lebih beragama dari kita yang hidup pada masa sekarang. Banyak perkara yang terpantang dilakukan oleh orang zaman dahulu menjadi biasa dilakukan oleh kita pada masa sekarang. Yang tua akhirnya mengurut dada sambil mengucap dalam hati.
Perkara “maintai..” merupakan perkara yang sumbang dalam pandangan masyarakat nagari kita dahulunya. Jika sudah bersua dengan pujaan hati maka mengadulah ke mamak minta dikawinkan. Tak usah pergi mengintai anak gadis orang, kurang ajar itu namanya engku.
Pernah pula dulu ada seorang penghulu, seorang datuk. Yang diintainya bukanlah anak gadis orang melaikan isteri orang. Cobalah engku bayangkan betapa kurang ajarnya datuk yang satu ini. Tahulah orang kampung, namun tak berdaya karena dia datuk. Tak sembarang orang boleh menegur datuk, bacaro (pakai cara) kalau hendak menegur datuk itu. Haruslah keluarganya sendiri, semisal mandehnya, kalau mamak masih ada, tentulah mamak dari si datuk, kalau neneknya masih ada, maka neneklah yang menegur, atau kakaknya, dan sanak kerabat yang lainnya.
Karena tak dapat cara dalam mengatasi perkara sumbang tersebut. Maka akhirnya Angku Palo turun tangan, maka disuruhnyalah salah seorang dubalangnya untuk menangani datuk kalera ini. Dan selepas itu si datukpun berhenti melakukan perbuatan merusaknya tersebut.
Begitulah engku dan encik sekalian, mudah-mudahan memberikan kearifan kepada kita semua. Terutama kita orang Kamang..
Suka sekali dengan cerita ini. Dulu waktu kecil dan tinggal di kampung sering mendengar kata baintaian. Kayaknya aib banget bagi orang tua...
BalasHapusBenar sekali rangkayo, hal tersebut merupakan perkara yang sangat sumbang sekali dalam kehidupan masyarakat kita di Minangkabau. Namun apalah hendak dikata, laju perubahan dalam kehidupan masyarakat kita pada masa sekarang telah mengubah segalanya. Yang terpantang menjadi biasa, seperti pandangan salah satu acara (program) "ghibah" pada salah satu stasiun tivi di republik ini yakni "mengangkat hal yang dianggap tabu untuk menjadi layak diperbincangkan". Na'uzubillah..
BalasHapuskalau boleh tahu dimanakah kampung asal dari Rangkayo ini? apapula sukunya?
Terimakasih..
Hm..
BalasHapusKonon ada pepatah yang mengatakan di dunia tak ada yang abadi. Semua berubah kecuali perubahan itu sendiri...
BalasHapusKita tetangga Pak. Ambo di Magek..Suku Jambak :)
Rang Magek Rangkayo rupono, sanang ati mandangano. Ba a keadaan di rantau rangkayo? lai acok juo pulang? Magek no dima tu?
BalasHapusBatua rangkayo, tapi kawan ambo pernah barujar, kalau buliah ambo sampaian di siko "Maaf engku, tapi pendapat serupa itu ialah pendapat orang kalah. Memanglah benar perubahan itu merupakan Sunnatullah, akan tetapi kita sendiri yang harus menentukan perubahan tersebut. BUkan orang lain ataupun fihak lain, apalagi orang munafik, fasik, ataupun orang kafir. Kita sesuaikan perubahan yang terjadi itu dengan ajaran syara' (agama) dan adat kita orang Minangkabau ini. Kalau sesuai ambil, kalau tak sesuai maka tinggalkan dan buang jauh-jauh.."
Begitulah rangkayo.. :-)